Laman

Senin, 02 November 2015

Review Novel Tere Lie-Bulan

Di buku BULAN ini diceritakan petualangan Raib, Seli dan Ali di dunia Klan Matahari, tempat leluhur Seli berasal. Setibanya di sana, bersama Ily, pemuda dari akademi Klan Bulan, mereka diminta mengikuti festival pencarian bunga matahari yang mekar pertama kali selama 9 hari. 



Cerita perjalanan mereka dalam menemukan bunga itulah yang mengisi novel setebal 400 halaman ini. Ada rasa-rasa Hunger Games di dalamnya, juga kesan Harry Potter serta The Lord Of Ther Rings. Festival yang mereka ikuti itu telah berusia ratusan tahun. Dulunya, festival itu sangat bergengsi karena orang yang berhasil menemukan bunga matahari pertama kali akan memperoleh kekuasaan dan keinginannya terkabul. Dulu ke sembilan kontingen harus saling menyerang dan membunuh untuk mendapatkan bunga matahari itu. Namun sekarang aturannya sudah berubah, tidak boleh saling menyerang kontingen lain. Meski begitu, mereka tetap harus menghadapi berbagai macam rintangan aneh, mirip negeri dongeng, bertemu makhluk-makhluk aneh dan berbahaya, serta rintangan lain.


Konflik dimulai di bab-bab terakhir, ketika Ketua Konsil, pemimpin Klan Matahari ternyata terungkap merencanakan sesuatu yang busuk. Dia hanya memanfaatkan keberadaan Raib, dkk untuk melepaskan musuh terbesar keempat dunia Klan, yaitu Si Tanpa Mahkota dari dalam penjara Bayangan di Bawah Bayangan. Di bab-bab akhir  itu juga terjadi pertarungan hebat antara pihak Raib dengan pihak Ketua Konsil yang jahat. Nah, berhasil atau tidak mereka mencegah Ketua Konsil dari usahanya melepas Si Tanpa Mahkota dapat kalian temukan di bab tersebut.

Kelebihan

Bicara soal kelebihan novel ini, tentu tidak akan jauh dari keahlian Tere Liye menerapkan nilai kebijaksanaan alam dalam ceritanya dibalut kelihaiannya meramu kata-kata. Novel ini membagikan pada kita bayangan dunia paralel yang aneh tetapi canggih. Setting yang kuat dan cerdas.

Kekurangan

1. Penulis terlalu sering menggunakan kata-kata yang sama dan bagi saya agak menjenuhkan, seperti ‘terbaik’, ‘paling …’, atau ‘lebih dari cukup’. Ada beberapa kata lain juga sih, cuma saya lupa dan malas mencarinya lagi.

2. Penceritaan di bab-bab awal sebenarnya asyik. Tetapi pola yang sama itu terasa seperti diulang di bab-bab berikutnya dan membuat saya bosan. Sampai bab 25 saya mesti berhari-hari membacanya.

3. Dialog antara keempat tokoh, Raib, Seli, Ali dan Ily selama petualangan rawan kejanggalan. Raib dan Ali bisa bicara pada Ily menggunakan bahasa bulan. Namun keduanya tidak paham bahasa matahari. Untuk bisa memahami orang-orang dari Klan Matahari mereka mesti meminta bantuan Seli menerjemahkan. Selain itu, Seli tidak bisa bicara dengan Ily, karena Ily hanya bisa bahasa bulan, tapi entah kenapa di beberapa bagian buku ini sesekali Ily merespon apa yang dikatakan Seli. Kalau bukan merespon, saya lihat dia menunjukkan kepahaman. Aneh, bukan? Lalu ada adegan yang merusak logika cerita. Seseorang yang tinggal di dunia Klan Matahari, di suatu hutan, bertemu dengan mereka. Orang itu sampai sekarang mengira keempat anak yang ia temui adalah kontingen asli dari Klan Matahari. Padahal, mestinya ketika mereka berdialog, orang itu paham hanya dengan melihat Seli yang terus menerjemahkan kalimat pada ketiga temannya. Apa dia tidak penasaran sewaktu hanya bisa bicara pada satu dari keempat orang?

4. Buat saya yang penyuka genre dystopia dan fantasi, novel ini terlalu lambat memunculkan konflik. Saya dibuat bosan duluan di awal.

5. Jawaban novel ini untuk ekspektasi saya juga agak mengecewakan. Saya heran kenapa Ali begitu lemah. Kemudian pertarungan pamungkas antara pihak Raib dengan Ketua Konsil amat singkat sekali. Tidak meninggalkan kesan. Apa jangan-janganTere Liye memfokuskan cerita ini di bagian petualangannya ya?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar